Rabu, 23 Mei 2012

Kebudayaan Suku Sunda

Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang memiliki keanekaragaman di dalam berbagai aspek kehidupan. Kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, karsa manusia yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural maka akan terlihat pula adanya berbagai suku bangsa di Indonesia. Tiap suku bangsa inilah yang kemudian mempunyai ciri khas kebudayaan yang berbeda- beda. Suku Sunda merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Jawa. Suku Sunda memiliki kharakteristik yang membedakannya dengan suku lain.Keunikan kharakteristik suku Sunda tercermin dari kebudayaan yang mereka miliki baik dari segi agama, mata pencaharian, kesenian dan lain sebagainya. Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia.
Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, karena letaknya yang berdekatan dengan ibu kota Negara, maka hampir seluruh suku bangsa yang ada di Indonesia terdapat di provinsi ini.
Kebudayaan Sunda merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu dilestarikan. Kebudayaankebudayaan tersebut akan dijabarkan sebagai berikut : SISTIM KEPERCAYAAN hampir semua orang Sunda beragama Islam. Pada dasarnya seluruh kehidupan orang Sunda ditujukan untuk memelihara keseimbangan alam semesta. Keseimbangan magis dipertahankan dengan upacara-upacara adat, sedangkan keseimbangan sosial dipertahankan dengan kegiatan saling memberi (gotong royong). Hal yang menarik dalam kepercayaan Sunda, adalah lakon pantun Lutung Kasarung, salah satu tokoh budaya mereka, yang percaya adanya Allah yang Tunggal (Guriang Tunggal).
MATA PENCAHARIAN Suku Sunda umumnya hidup bercocok tanam. Kebanyakan tidak suka merantau atau hidup berpisah dengan orang-orang sekerabatnya. Kebutuhan orang Sunda terutama adalah hal meningkatkan taraf hidup.
Secara umum kemiskinan di Jawa Barat disebabkan oleh kelangkaan sumber daya manusia. Maka yang dibutuhkan adalah pengembangan sumber daya manusia yang berupa pendidikan, pembinaan, dll.
KESENIAN KIRAB HELARAN Kirap helaran atau yang disebut sisingaan adalah suatu jenis kesenian tradisional atau seni pertunjukan rakyat yang dilakukan dengan arak-arakan dalam bentuk helaran. Pertunjukannya biasa ditampilkan pada acara khitanan atau acara-acara khusus seperti ; menyambut tamu, hiburan peresmian, kegiatan HUT Kemerdekaan RI dan kegiatan harihari besar lainnya.
Diikuti oleh kelompok-kelompok masyarakat yang menyajikan seni budaya Sunda, seperti sisingaan, gotong gagak, kendang rampak, calung, engrang, reog, barongsai, dan klub motor.
Adapun PENCAK SIALAT CIKALONG Pencak silat Cikalong tumbuh dikenal dan menyebar, penduduk tempatan menyebutnya “Maempo Cikalong”. Khususnya di Jawa Barat dan di seluruh Nusantara pada umumnya, hampir seluruh perguruan pencak silat melengkapi teknik perguruannya dengan aliran ini. Daerah Cianjur sudah sejak dahulu terkenal sebagai daerah pengembangan kebudayaan Sunda seperti; musik kecapi suling Cianjuran, klompen cianjuran, pakaian moda Cianjuran yang sampai kini dipergunakan dll.
SENI TARI TARI JAIPONGAN Tanah Sunda (Priangan) dikenal memiliki aneka budaya yang unik dan menarik, Jaipongan adalah salah satu seni budaya yang terkenal dari daerah ini. Jaipongan atau Tari Jaipong sebetulnya merupakan tarian yang sudah moderen karena merupakan modifikasi atau pengembangan dari tari tradisional khas Sunda yaitu Ketuk Tilu.
Tari Jaipong ini dibawakan dengan iringan musik yang khas pula, yaitu Degung. Musik ini merupakan kumpulan beragam alat musik seperti Kendang, Go’ong, Saron, Kacapi, dsb. Degung bisa diibaratkan ‘Orkestra’ dalam musik Eropa/Amerika.
Ciri khas dari Tari Jaipong ini adalah musiknya yang menghentak, dimana alat musik kendang terdengar paling menonjol selama mengiringi tarian. Tarian ini biasanya dibawakan oleh seorang, berpasangan atau berkelompok. Sebagai tarian yang menarik, Jaipong sering dipentaskan pada acara-acara hiburan, selamatan atau pesta pernikahan.
TARI MERAK TARI TOPENG SENI MUSIK DAN SUARA Selain seni tari, tanah Sunda juga terkenal dengan seni suaranya. Dalam memainkan Degung biasanya ada seorang penyanyi yang membawakan lagu-lagu Sunda dengan nada dan alunan yang khas. Penyanyi ini biasanya seorang wanita yang dinamakan Sinden. Tidak sembarangan orang dapat menyanyikan lagu yang dibawakan Sinden karena nada dan ritme-nya cukup sulit untuk ditiru dan dipelajari.
Salah satu musik/lagu daerah Sunda: Bubuy Bulan Es Lilin Manuk Dadali Tokecang Warung Pojok WAYANG GOLEK Jepang boleh terkenal dengan ‘Boneka Jepangnya’, maka tanah Sunda terkenal dengan kesenian Wayang Golek-nya. Wayang Golek adalah pementasan sandiwara boneka yang terbuat dari kayu dan dimainkan oleh seorang sutradara merangkap pengisi suara yang disebut Dalang. Seorang Dalang.
ALAT MUSIK Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la).
Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih). Angklung adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari bambu khusus yang ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna. Ketika awal penggunaannya angklung masih sebatas kepentingan kesenian local atau tradisional KETUK TILU Ketuk Tilu adalah suatu tarian pergaulan dan sekaligus hiburan yang biasanya diselenggarakan pada acara pesta perkawinan, acara hiburan penutup kegiatan atau diselenggrakan secara khusus di suatu tempat yang cukup luas.
Sistem keluarga dalam suku Sunda bersifat parental, garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu bersama. Dalam keluarga, ayah yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan suku Sunda. Dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan.
BAHASA Bahasa yang digunakan oleh suku ini adalah bahasa Sunda. Bahasa Sunda adalah bahasa yang diciptakan dan digunakan sebagai alat komunikasi oleh Suku Sunda, dan sebagai alat pengembang serta pendukung kebudayaan Sunda itu sendiri. Selain itu bahasa Sunda merupakan bagian dari budaya yang memberi karakter yang khas sebagai identitas Suku Sunda yang merupakan salah satu Suku dari beberapa Suku yang ada di Indonesia.
UPACARA ADAT PENGANTIN  SUKU SUNDA merupakan salah satu pilihan calon mempelai yang ingin merayakan pesta pernikahannya. Khususnya mempelai yang berasal dari Sunda. Adapun rangkaian acaranya dapat dilihat berikut ini:
Sawer
Kedua mempelai duduk di penyaweran, yaitu di halaman rumah tempat cucuran air hujan yang jatuh dari atap rumah dengan dipanyungi. Acara ini dipimpin oleh seorang panembang (penyanyi) yang membawakan tembang yang berisikan nasihat-nasihat orang tua bagi kedua mempelai.
Kedua orang tua mempelai menaburi pengantin/nyawer yang bahannya terdiri dari beras kuning, bunga-bungaan, uang kecil/recehan,dan kembang gula yang diperebutkan oleh para tamu; terutama anak-anak. Kemudian dilanjutkan dengan acara :
Meuleum Harupat
Meuleum harupat berarti membakar tangkai bunga pinang kering, dimana api yang menyala kemudian ditiup oleh kedua mempelai yang berarti hambatan, kesulitan dan godaan dalam berumah tangga hendaknya dipecahkan bersama-sama. Setelah itu dilakukan acara:
Nincak Endog
Nincak endog berarti menginjak telur, dimana pengantin pria menginjak telur yang kemudian kakinya akan dibasuh oleh pengantin wanita. Acara ini bermakna pengabdian seorang istri kepada suaminya. Kemudian dilanjutkan dengan acara:
Nincak Songsong
Nincak songsong berarti menginjak songsong, songsong adalah bamboo kecil untuk meniup kayu bakar agar apinya tetap menyala. Setelah itu dilaksanakan acara:
Meupeuskeun Kendi
Kendi adalah tempat air dari tanah liat, kendi tersebut dipecahkan bersama oleh kedua mempelai. Acara ini bermakna sebagai penolak bala dalam rumah tangga. Acara dilanjutkan dengan:
Buka Panto
Buka panto berarti buka pintu, yang bermakna permohonan izin seorang suami kepada istrinya untuk hidup berdampingan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Setelah itu dilaksanakan acara:
Huap Lingkung
Huap lingkung berarti kedua mempelai saling menyuapi senagai perlambang keduanya akan saling mengasihi. Kemudian kedua mempelai disuapi oleh orang tua kedua belah pihak sebagai gambaran kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya dan merupakan suapan terakhir dari orang tua. Pada acara huap lingkung diakhiri dengan rebutan bakakak hayam (panggang ayam) sebagai gambaran bahwa rezeki yang dilimpahkan oleh Tuhan hendaknya dinikmati dan disyukuri bersama-sama.
Setelah usai upacara adat ini dilakukan dengan penerimaan ucapan selamat dan do’a restu dari seluruh keluarga, handai taulan dan para tamu.
Untuk menuju tempat pelaminan pengantin disambut dengan kesenian yang dipandu oleh seorang lengser, lengser inilah yang akan membawa pengantin dan kedua orang tuanya ke kursi pelaminan. Dalam perjalanan menuju kursi pelaminan, dilakasanakan prosesi seni tari dalam bentuk olah payung kebesaran, umbul-umbul yang diiringi oleh para penari. Sesampainya di kursi pelaminan disuguhkan tarian persembahan. Selanjutnya para undangan dipersilahkan untuk memberikan ucapan selamat dan do’a restu kepada kedua mempelai.
Berbagai unsur kebudayaan Sunda yang sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkan, bahkan untuk dijadikan model kebudayaan nasional dan kebudayaan dunia tampak tidak mendapat sentuhan yang memadai. Ambillah contoh, berbagai makanan tradisional yang dimiliki orang Sunda, mulai dari bajigur, bandrek, surabi, colenak, wajit, borondong, kolontong, ranginang, opak, hingga ubi cilembu, apakah ada strategi besar dari pemerintah untuk mengemasnya dengan lebih bertanggung jawab agar bisa diterima komunitas yang lebih luas. Lemahnya budaya baca, tulis, dan lisan juga menjadi penyebab lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda. Lemahnya budaya baca telah menyebabkan lemahnya budaya tulis.
Lemahnya budaya tulis pada komunitas Sunda secara tidak langsung merupakan representasi pula dari lemahnya budaya tulis dari bangsa Indonesia. Fakta paling menonjol dari semua ini adalah minimnya karya-karya tulis tentang kebudayaan Sunda. Ini juga sebuah fakta yang menunjukkan bahwa orang Sunda mempunyai sifat ramah dan baik hati kepada kaum pendatang dan tamu. Diakui pula oleh etnik lainnya di negeri ini bahwa sebagian besar masyarakat Sunda memang telah menjalin hubungan yang harmonis dan bermakna dengan kaum pendatang dan mukimin. Hal ini ditandai oleh hubungan mendalam penuh empati dan persahabatan tidaklah mengherankan bahwa persahabatan, saling pengertian, dan bahkan persaudaraan kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari antara warga Sunda dan kaum pendatang.
Perkenalan pribadi, pembicaraan dari hati ke hati, gaya dan ragam bahasa (termasuk logat bicara), cara bicara (paralinguistik), bahasa tubuh, ekspresi wajah, cara menyapa, cara duduk, dan aktivitas-aktivitas lain yang dilakukan akan turut memengaruhi berhasil tidaknya komunikasi antarbudaya dengan orang Sunda. Pada akhirnya dibalik sifat ramah, dan baik hati orang Sunda, sebenarnya masih sangat kental sehingga hal ini menjadi penunjang di dalam terjalinnya sistim interaksi yang berjalan harmonis.
STRATIFIKASI SUKU SUNDA Masyarakat Jawa Barat, yaitu masyarakat Sunda, mempunyai ikatan keluarga yang sangat erat. Nilai individu sangat tergantung pada penilaian masyarakat. Dengan demikian, dalam pengambilan keputusan, seperti terhadap perkawinan, pekerjaan, dll., seseorang tidak dapat lepas dari keputusan yang ditentukan oleh kaum keluarganya.
Komunikasi Vertikal, Hubungan seseorang dengan orang lain dalam lingkungan kerabat atau keluarga dalam masyarakat Sunda menempati kedudukan yang sangat penting. Soalnya, hubungan kekerabatan seseorang dengan orang lain akan menentukan kedudukan seseorang dalam struktur kekerabatan keluarga besarnya, menentukan bentuk hormat menghormati, harga menghargai, kerjasama, dan saling menolong di antara sesamanya, serta menentukan kemungkinan terjadi-tidaknya pernikahan di antara anggota-anggotanya guna membentuk keluarga inti baru.
KESIMPULAN
Suku Sunda merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Jawa. Suku Sunda memiliki kharakteristik yang unik yang membedakannya dengan masyarakat suku lain. Kekharakteristikannya itu tercermin dari kebudayaan yang dimilikinya baik dari segi agama, bahasa, kesenian, adat istiadat, mata pencaharian, dan lain sebagainya. Kebudayaan yang dimiliki suku Sunda ini menjadi salah satu kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang perlu tetap dijaga kelestariannya

Sistem Kekerabatan Dan Perkawinan Suku Sunda

SISTEM KEKERABATAN DAN PERKAWINAN

SISTEM KEKERABATAN DAN PERKAWINAN
ORANG SUNDA DI JAWA BARAT

Sistem kekerabatan dan perkawinan orang sunda dipengaruhi oleh adat yang diteruskan secara turun temurun oleh agama Islam. Karena agama Islam telah lama dipeluk oleh orang Sunda. Biasanya kedua unsur itu terjalin erat menjadi adat kebiasaan dan kebudayaan orang Sunda. Perkawinan ditanah Sunda misalnya dilakukan baik secara adat maupun secara agama islam. Ketika upacara akad nikah atau ijab kabul dilakukan, maka tampak sekali bahwa didalam upacara-upacara yang terpenting ini terdapat unsur agama.
Dalam hubungannya dengan sistem perkawinan itu, tiap bangsa mempunyai anggapannya masing-masing mengenai umur yang paling baik untuk dikawinkan. Di beberapa Desa di sekitar Bandung, diperoleh data bahwa dari 360 responden ada 287 yang menyatakan bahwa umur yang baik untuk menikah yaitu antara 16 sampai 20. Sistem pemilihan jodoh di Jawa Barat tidak terikat suatu sistem tertentu. Hanya yang pasti perkawinan didalam keluarga batih dilarang, dan apabila kita hendak mengetahui darimanakah sebaiknya diambil jodoh, dari luar atau dari kalangan sendiri.
Sebelum menentukan seseorang itu untuk diambil menjadi calon menantu, terlebih dahulu diadakan penyelidikan dari kedua belah pihak, penyelidikan itu biasanya dilakukan secara serapih mungkin dan secara tertutup. Diusahakan agar dapat menantu yang baik.
Menantu yang baik disini tentunya mempunyai arti yang relatif. Untuk mengetahui mana yang baik, maka kita perlu mengetahui sistem-sistem nilai budaya yang berlaku di daerah itu. Di daerah pedesaan yang kuat kehidupan agamanya, maka faktor orientasi agama memainkan peranan yang penting. Pada umumnya di daerah pedalaman telah dikenal pula moralitas perkawinan yang dapat dilihat dari bahasa dan pepatah dalam bahasa itu. Di Pasundan dikatakan misalnya : “Lamun nyiar jodo kudu kakupuna” artinya kalau mencari jodoh harus kepada orang yang sesuai dalam segalanya, baik dari segi rupa, kekayaan, maupun keturunannya. Atau “Lamun nyiar jodo kudu kanu sawaja sabeusi”, artinya mencari jodoh itu harus mencari yang sesuai dan cocok dalam segala hal.
Adapun caranya mencari menantu itu, dilakukan oleh pihak laki-laki maupun perempuan. Caranya mula-mula tidak serius, sambil bergurau antara orang tua kedua belah pihak, tempat pembicaraannya juga tidak ditetapkan, dimana saja.
Apabila anak gadis itu belum bertunngan dan juga orang tuanya setuju atas yang diusulkan oleh pemuda tersebut, maka perembukan itu dinamakan “NEUNDEUN OMONG”, artinya menaruh perkataan. Antara neundeun omong sampai “NYEUREUHAN” atau melamar, terjadilah saling amat-mengamati atau sidik-menyelidiki secara baik-baik. Sekiranya terdapat kesepakatan antara kedua belah pihak maka dilakukan Pinangan.
Pinangan inipun dilakukan dengan tata cara yang khusus. Setelah dilakukan pelamaran, maka diadakan persiapan untuk melakukan acara pernikahan. Setelah tersedia persiapan itu, maka orang tua laki-laki mengirimkan kabar kepada orang tua gadis hari dan jam yang sudah ditetapkan untuk diadakan “SESERAHAN”. Anak laki-laki yang akan menjadi mempelai itu. Perihal waktu perkawinan sudah mereka bicarakan. Biasanya penyerahan anak laki-laki itu dikerjakan tiga hari sebelum diadakan upacara pernikahan. Setelah anak laki-laki diserahkan pada prinsipnya segala sesuatu telah menjadi tanggungjawab orang tua perempuan.
Pada upacara pernikahannya sendiri, dilakukan secara sederhana secara agama. Tetapi upacara “NYAWER dan BUKA PINTU” tetap ada dan merupakan yang paling menarik. Semua orang gembira dan mengikuti dengan penuh perhatian dan mengikuti dengan penuh perhatian dan mengikuti dialog yang dilakukan dengan bahasa puisi dan lagu.
Dalam hal kekerabatan di tanah Sunda yang terpenting adalah keluarga batih. Keluarga batih terdiri dari suami, isteri dan anak-anak yang diadapat dari perkawinan atau adopsi yang belum kawin. Adat sesudah nikah di daerah Jawa Barat pada prinsipnya adalah Neolokal. Hubungan sosial antara keluarga batih amat erat. Keluarga batih merupakan tempat yang paling aman bagi anggotanya ditengah hubungan kerabat yang lebih besar dan ditengah masyarakat. Didalam rumah tangga keluarga batih itu, sering juga terdapat anggota keluarga lain, seperti ibu mertua atau keponakan pihak laki-laki atau perempuan. Dalam keadaan kekurangan perumahan, maka dalam satu rumah tangga sering terdapat lebih dari satu buah keluarga batih.
Pada umumnya dikatakan bahwa kehidupan keluarga batih di desa-desa masih relatif kompak. Pekerjaan di sawah-sawah masih dilakukan secara bersama-sama dengan pembagian kerja yang ada.
Pada lapisan yang lebih tinggi pada masyarakat Sunda, warga dari satu golongan biasanya terpencar, diberbagai kota dan daerah. Demikian golongan itu merupakan suatu kelompok kekerabatan yang dalam ilmu antropologi secara teknis disebut “Kindred”.
Dalam masyarakat Sunda adapula kelompok yang berupa “Ambilineal”, karena mencakup kerabat seputar keluarga batih seorang ego. Tetapi diorientasikan kearah nenek moyang yang jauh didalam masa yang lampau. Kelompok ini disebut “BONDOROYOT”. Kesadaran akan kesatuan bondoroyot sering diintensifkan dengan beberapa adat pantangan yang wajib dilakukan oleh warga dari suatu bondoroyot.
1. Prinsip-prinsip keturunan
Prinsip keturunan adalah cara untuk menarik garis keturunan yang berlaku dalam masyarakat tertentu, begitu pula dengan masyarakat Sunda. Masyarakat Sunda menganut garis keturunan secara bilateral yaitu dari kedua belah pihaknya baik dari garis laki-laki maupun dari garis perempuan. Antara kerabat si ayah dan si ibu itu derajatnya sama dalam keluarga. Namun ada juga perbedaannya yaitu kerabat jauh dan kerabat dekat.
2. Sistem kekerabatan
Dalam sistem kekerabatan ada nama-nama angkatan dalam arti hubungan kekerabatan, dalam hal ini orang Sunda mengenal 7 istilah kekerabatan yang dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Keatas
Kebawah
1. Kolot
2. Embah (Aki dan Nini)
3. Buyut
4. Bao
5. Janggawareng
6. Udeg-udeg
7. Kakait Siwur
1. Anak
2. Incu
3. Buyut
4. Bao
5. Janggawareng
6. Udeg-udeg
7. Kakait Siwur
3. Adat perkawinan
Perkawinan adalah suatu kegiatan daur hidup yang bersifat universal, dalam perkawinan itu terdapat proses perubahan status seseorang baik itu status sosial maupun yang berhubungan dengan kehidupan religius. Dalam masyarakat sunda terdapat 5 kegiatan yang bertalian dengan perkawinan, yaitu :
a. Meminang
Dilakukan oleh orang tua laki-laki kepada orang tua perempuan. Dalam prinsipnya bahwa laki-lakilah yang mempunyai inisiatif. Acara meminang ini dimulai dengan kunjungan orang tua laki-laki untuk menanyakan apakah si perempuan belum ada yang punya, jika memang belum mereka memperoleh kesepakatan untuk menjodohkannya.
b. Seserahan
Biasanya dilakukan 2 – 3 hari sebelum upacara pernikahan. Yaitu prosesi penyerahan laki-laki kepada keluarga perempuan, dalam seserahan ini dirundingkan bersama agar keduanya dinilai telah siap. Pada saat seserahan pihak keluarga laki-laki membawakan barang-barang ebagai perlengkapan upacara pernikahan.
c. Ngeuyeuk Seureuh
Dilakukan sehari sebelum pernikahan, tradisi ini digunakan sebagai simbol suapaya mereka siap menjalani kehidupan rumah tangga yang diriodhoi dan diberi ketentraman oleh Tuhan YME.
d. Pernikahan
Dalam adat pernikahan Sunda, pengantin keduanya didandani seperti biasanya pengantin-pengantin dari daerah lain. Namun tentunya berbeda dalam hal pakaian adat. Cara pelaksanaan biasanya diatur oleh lembaga keagamaan setempat dengan memadukan ketentuan pernikahan didalam agamanya masing-masing. Tradisi setelah upacara resmi pengantin disawer, yaitu pengantin berdampingan dinaungi payung sambil dinyanyikan lagu atau kawih yang berisikan nasehat, sambil ditaburi beras, kunir, serta uang logam yang akan diperebutkan oleh anak-anak kecil. Stelah itu ada adat upacara buka pintu yang melambangkan bahwa si perempuan akan menyambut suaminya.
Setelah itu ada tradisi “HUAP LINGKUP” atau saling menyuapi dan saling berebut ayam panggang sebagai lambang bahwa mereka akan saling bekerjasama dan menjadi teman hidup dalam mengarungi rumah tangga.
e. Adat Setelah Menikah
Setelah menikah biasanya kedua pengantin itu bertempat tinggal di orang tua pihak wanita (Uxorilokal) namun sifatnya sementara. Setelah itu mereka memilih tempat tinggal sendiri untuk membangun suatu keluarga batih. Tentu saja suatu keharusan bagi laki-laki yang telah berani menikah maka ia harus siap mempersiapkan rumah serta keperluan rumah tangga lainnya. Walaupuin pada kenyataannya banyak dianatara mereka yang masih tinggal bersama orang tua meskipun telah berkeluarga. Padahal laki-laki sebagai kodratnya adalah menjadi seorang kepala keluarga dan bertanggungjawab terhadap segala sesuatu didalam keluarga baik itu didalam hal ekonomi dan yang lainnya.
Setelah terjadi proses pernikahan maka terwujudlah suatu perluassan keluarga yaitu munculnya keluarga batih yang baru sebagai salah satu bentuk dan wujud kelompok kekerabatan.
SUMBER
Bapak Rusmana Kartasasmita, Tokoh Masyarakat Desa Sukaratu Tasikmalaya Jawa Barat

Sistem Kepercayaan Suku Sunda

Sunda Wiwitan
Pada proses perkembangan agama Islam, tidak seluruh wilayah tatar Sunda menerima sepenuhnya, di beberapa tempat terdapat komunitas yang bertahan dalam ajaran leluhurnya seperti komunitas masyarakat di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak yang dikenal dengan masyarakat Baduy. Mereka adalah komunitas yang tidak mau memeluk Islam dan terkungkung di satu wilayah religius yang khas; terpisah dari komunitas Muslim Sunda dan tetap melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.

Dasar religi masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu kekuasaan yakni Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib) yang bersemayam di Buana Nyungcung (Buana Atas). Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada pikukuh untuk menyejahterakan kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai). Pada dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal memiliki keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia melalui Kabuyutan; titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Konsep buana bagi orang Baduy berkaitan dengan titik awal perjalanan dan tempat akhir kehidupan. (Garna, 1992:5).

Menurut ajaran Sunda Wiwitan, perjalanan hidup manusia tidak terpisah dari wadah tiga buana, yaitu (1) Buana Nyungcung sama dengan Buana Luhur atau Ambu Luhur; tempat bersemayam Sang Hyang Keresa di tempat paling atas; (2) Buana Panca Tengah atau Ambu Tengah yang dalam dunia pewayangan sering disebut Mayapada atau Arcapada tempat hidup manusia dan mahluk lainnya; dan (3) Buana Larang sama dengan Buana Handap atau Ambu handap yaitu tempatnya neraka. Manusia yang hidup di Buana Panca Tengah suatu saat akan menemui Buana Akhir yaitu Buana Larang, sedangkan proses kelahirannya ditentukan di Buana Luhur. Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapisan alam yang tersusun dari atas ke bawah, lapisan teratas disebut Bumi Suci Alam Padang atau Kahyangan tempat Sunan Ambu dan para pohaci bersemayam.

Pada pelaksanaan ajaran Sunda Wiwitan di Kanekes, tradisi religius diwujudkan dalam berbagai upacara yang pada dasarnya memiliki empat tujuan utama: yaitu (1) menghormati para karuhun atau nenek moyang; (2) menyucikan Pancer Bumi atau isi jagat dan dunia pada umumnya; (3) menghormati dan menumbuhkan atau mengawinkan Dewi Padi; dan (4) melaksanakan pikukuh Baduy untuk mensejahterakan inti jagat. Dengan demikian, mantra-mantra yang diucapkan sebelum dan selama upacara berisikan permohonan izin dan keselamatan atas perkenan karuhun, menghindari marabahaya, serta perlindungan untuk kesejahteraan hidup di dunia damai sejahtera.

Masuknya agama Islam ke tatar Sunda menyebabkan terpisahnya komunitas penganut ajaran Sunda Wiwitan yang taat dengan mereka yang menganut Islam. Masyarakat penganut Sunda Wiwitan memisahkan diri dalam komunitas yang khas di pedalaman Kanekes ketika agama Islam memasuki kerajaan Pakuan Pajajaran. Hal ini dapat ditemukan dalam cerita Budak Buncireung, Dewa Kaladri, dan pantun Bogor versi Aki Buyut Baju Rambeng dalam lakon Pajajaran Seureun Papan.

Secara sadar, masyarakat Kanekes dengan tegas mengakui perbedaan mereka dengan masyarakat Sunda lainnya di luar Kanekes hanyalah dalam sistem religi, bukan etnis. Menurut Djatisunda (1992;2-3) mereka menyebut orang Sunda di luar Kanekes dengan sebutan Sunda Eslam (orang Sunda yang beragama Islam) dan dianggap sebagai urang Are atau dulur are. Arti dari istilah urang are atau dulur are dikemukakan Ayah Kaiti bekas seurat Tangtu Cikeusik bahwa: harti urang are ta, ja dulur are. Dulur-dulur na mah, ngan eslam hanteu sabagi kami di dieu (arti urang are yaitu dulur are. Saudara sih saudara, tetapi menganut agama Islam tidak seperti saya di sini). Ungkapan tersebut memperjelas pengakuan kedudukan etnis masyarakat Kanekes sebagai suku bangsa Sunda yang membedakannya hanyalah sistem religi karena tidak menganut agama Islam.


Madrais dan aliran perjalanan
Berbeda dengan masyarakat Baduy yang bertahan dengan tradisinya akibat desakan pengaruh Islam, perjumpaan Islam dengan budaya Sunda dalam komunitas lain malah melahirkan kepercayaan baru seperti yang dikembangkan Madrais di Cigugur Kabupaten Kuningan dan Mei Kartawinata di Ciparay Kabupaten Bandung.

Madrais semula dibesarkan dalam tradisi Islam kemudian melahirkan ajaran baru yang mengajarkan faham Islam dengan kepercayaan lama (pra-Islam) masyarakat Sunda yang agraris dan disebutnya sebagai Ajaran Djawa Sunda atau Madraisme pada tahun 1921. Ia menetapkan tanggal 1 Sura sebagai hari besar seren taun yang dirayakan secara besar-besaran antara lain dengan ngagondang (menumbukkan alu pada lesung sambil bernyanyi). Menurut ajarannya, Dewi Sri atau Sanghyang Sri adalah Dewi Padi yang perlu dihormati dengan upacara-upacara religius daur ulang penanaman padi serta ajaran budi pekerti dengan mengolah hawa nafsu agar hidup selamat. Di pihak lain, ia pun memuliakan Maulid Nabi Muhammad, tetapi menolak Alquran dengan anggapan bahwa Alquran yang sekarang tidak sah sebab Alquran yang sejati akan diturunkan menjelang kiamat.

Ajaran Madraisme ini, setelah Madrais meninggal dunia tahun 1939 dilanjutkan anaknya bernama Pangeran Tejabuana, serta cucunya Pangeran Jati Kusumah yang 11 Juli 1981 mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU) mengharuskan para pengikutnya untuk melestarikan ajaran karuhun Sunda dan ke luar dari agama Islam.

Sementara itu, Mei Kartawinata (1898-1967) seorang tokoh kebatinan mendirikan aliran kepercayaan perjalanan yang dikenal dengan "Agama Kuring" (Agamaku) dan pendiri Partai Permai di Ciparay Kabupaten Bandung. Kisahnya, 17 September 1927, di Subang ia mendapat wangsit untuk berjuang melalui pendidikan, kerohanian, dan pengobatan melalui perkumpulan Perjalanan yang mengibaratkan hidup manusia seperti air dalam perjalanannya menuju laut dan bermanfaat sepanjang jalan. Dia menulis buku "Budi Daya" tahun 1935 yang dijadikan 'kitab suci' oleh para pengikutnya. Ajaran ini memadukan sinkretisme antara ajaran Sunda Wiwitan, Hindu, Budha, dan Islam.

Asal Usul Suku Sunda

Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan komunikasi kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini lahir, tetapi dari bukti tertulis yang merupakan keterangan tertua, berbentuk prasasti berasal dari abad ke-14.
Prasasti dimaksud di temukan di Kawali Ciamis, dan ditulis pada batu alam dengan menggunakan aksara dan Bahasa Sunda (kuno). Diperkirakan prasasti ini ada beberapa buah dan dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1397-1475).
Salah satu teks prasasti tersebut berbunyi "Nihan tapak walar nu siya mulia, tapak inya Prabu Raja Wastu mangadeg di Kuta Kawali, nu mahayuna kadatuan Surawisesa, nu marigi sakuliling dayeuh, nu najur sakala dأesa. Ayama nu pandeuri pakena gawe rahayu pakeun heubeul jaya dina buana" (inilah peninggalan mulia, sungguh peninggalan Eyang Prabu Adipati Wastukenkiana yang bertakhta di Kota Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan sekeliling ibukota, yang menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang datang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).
Dapat dipastikan bahwa Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh sebelum masa itu. Mungkin sekali Bahasa Kwâeun Lun yang disebut oleh Berita Cina dan digunakan sebagai bahasa percakapan di wilayah Nusantara sebelum abad ke-10 pada masyarakat Jawa Barat kiranya adalah Bahasa Sunda (kuno), walaupun tidak diketahui wujudnya.
Bukti penggunaan Bahasa Sunda (kuno) secara tertulis, banyak dijumpai lebih luas dalam bentuk naskah, yang ditulis pada daun (lontar, enau, kelapa, nipah) yang berasal dari zaman abad ke-15 sampai dengan 180. Karena lebih mudah cara menulisnya, maka naskah lebih panjang dari pada prasasti. Sehingga perbendaharaan katanya lebih banyak dan struktur bahasanya pun lebih jelas.
Contoh bahasa Sunda yang ditulis pada naskah adalah sebagai berikut:
  • Berbentuk prosa pada Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518) “Jaga rang hأ©أ©s tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteuâ€‌ (Hendaknya kita tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa!)
  • Berbentuk puisi pada Kropak 408 berjudul Sأ©waka Darma (abad ke-16) “Ini kawih panyaraman, pikawiheun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma, ngawangun rasa sorangan, awakaneun sang sisya, nu huning Sأ©waka Darmaâ€‌ (Inilah Kidung nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut, namanya penggerak darma, untuk membangun rasa pribadi, untuk diamalkan sang siswa, yang paham Sewaka Darma).

Tampak sekali bahwa Bahasa Sunda pada masa itu banyak dimasuki kosakata dan dipengaruhi struktur Bahasa Sanskerta dari India. Setelah masyarakat Sunda mengenal, kemudian menganut Agama Islam, dan menegakkan kekuasaan Agama Islam di Cirebon dan Banten sejak akhir abad ke-16. Hal ini merupakan bukti tertua masuknya kosakata Bahasa Arab ke dalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda.
Di dalam naskah itu terdapat 4 kata yang berasal dari Bahasa Arab yaitu duniya, niyat, selam (Islam), dan tinja (istinja). Seiring dengan masuknya Agama Islam kedalam hati dan segala aspek kehidupan masyarakat Sunda, kosa kata Bahasa Arab kian banyak masuk kedalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda dan selanjutnya tidak dirasakan lagi sebagai kosakata pinjaman.
Kata-kata masjid, salat, magrib, abdi, dan saum, misalnya telah dirasakan oleh orang Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya sendiri. Pengaruh Bahasa Jawa sebagai bahasa tetangga dengan sesungguhnya sudah ada sejak Zaman Kerajaan Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya. Paling tidak pada abad ke-11 telah digunakan Bahasa dan Aksara Jawa dalam menuliskan Prasasti Cibadak di Sukabumi. Begitu pula ada sejumlah naskah kuno yang ditemukan di Tatar Sunda ditulis dalam Bahasa Jawa, seperti Siwa Buda, Sanghyang Hayu.
Namun pengaruh Bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat Sunda sangat jelas tampak sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 sebagai dampak pengaruh Mataram memasuki wilayah ini. Pada masa itu fungsi Bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan di kalangan kaum elit terdesak oleh Bahasa Jawa, karena Bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi dilingkungan pemerintahan. Selain itu tingkatan bahasa atau Undak Usuk Basa dan kosa kata Jawa masuk pula kedalam Bahasa Sunda mengikuti pola Bahasa Jawa yang disebut Unggah Ungguh Basa.
Dengan penggunaan penggunaan tingkatan bahasa terjadilah stratifikasi social secara nyata. Walaupun begitu Bahasa Sunda tetap digunakan sebagai bahasa lisan, bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Sunda. Bahkan di kalangan masyarakat kecil terutama masyarakat pedesaan, fungsi bahasa tulisan dan bahasa Sunda masih tetap keberadaannya, terutama untuk menuliskan karya sastera WAWACAN dengan menggunakan Aksara Pegon.
Sejak pertengahan abad ke 19 Bahasa Sunda mulai digunakan lagi sebagai bahasa tulisan di berbagai tingkat sosial orang Sunda, termasuk penulisan karya sastera. Pada akhir abad ke 19 mulai masuk pengaruh Bahasa Belanda dalam kosakata maupun ejaan menuliskannya dengan aksara Latin sebagai dampak dibukanya sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi oleh pemerintah.
Pada awalnya kata BUPATI misalnya, ditulis boepattie seperti ejaan Bahasa Sunda dengan menggunakan Aksara Cacarakan (1860) dan Aksara Latin (1912) yang dibuat oleh orang Belanda. Selanjutnya, masuk pula kosakata Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Sunda, seperti sepur, langsam, masinis, buku dan kantor.
Dengan diajarkannya di sekolah-sekolah dan menjadi bahasa komunikasi antar etnis dalam pergaulan masyarakat, Bahasa Melayu juga merasuk dan mempengaruhi Bahasa Sunda. Apalagi setelah dinyatakan sebagai bahasa persatuan dengan nama Bahasa Indonesia pada Tahun 1928. Sejak tahun 1920-an sudah ada keluhan dari para ahli dan pemerhati Bahasa Sunda, bahwa telah terjadi Bahasa Sunda Kamalayon, yaitu Bahasa Sunda bercampur Bahasa Melayu.
Sejak tahun 1950-an keluhan demikian semakin keras karena pemakaian Bahasa Sunda telah bercampur (direumbeuy) dengan Bahasa Indonesia terutama oleh orang-orang Sunda yang menetap di kota-kota besar, seperti Jakarta bahkan Bandung sekalipun. Banyak orang Sunda yang tinggal di kota-kota telah meninggalkan pemakaian Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari di rumah mereka. Walaupun begitu, tetap muncul pula di kalangan orang Sunda yang dengan gigih memperjuangkan keberadaan dan fungsionalisasi Bahasa Sunda di tengah-tengah masyarakatnya dalam hal ini Sunda dan Jawa Barat. Dengan semakin banyaknya orang dari keluarga atau suku bangsa lain atau etnis lain yang menetap di Tatar Sunda kemudian berbicara dengan Bahasa Sunda dalam pergaulan sehari-harinya. Karena itu, kiranya keberadaan Bahasa Sunda optimis bakal terus berlanjut

Ringkasan Tentang Suku Sunda

Suku Sunda

 Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat. Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia, setelah etnis Jawa. Sekurang-kurangnya 15,41% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda. Mayoritas orang Sunda beragama Islam. Namun dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak masyarakat yang mempercayai kekuatan-kekuatan supranatural, yang berasal dari kebudayaan animisme dan Hindu. Kepercayaan tradisional Sunda Wiwitan masih bertahan di beberapa komunitas pedesaan suku Sunda, seperti di Kuningan dan masyarakat suku Baduy di Lebak yang berkerabat dekat dan dapat dikategorikan sebagai suku Sunda.
Jati diri yang mempersatukan orang Sunda adalah bahasanya dan budayanya. Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, dan riang, akan tetapi mereka dapat bersifat pemalu dan terlalu perasa secara emosional.[2] Karakter orang Sunda seringkali ditampilkan melalui tokoh populer dalam kebudayaan Sunda; Kabayan dan Cepot. Mereka bersifat riang, suka bercanda, dan banyak akal, tetapi seringkali nakal.
Prestasi yang cukup membanggakan adalah banyaknya penyanyi, musisi, aktor dan aktris dari etnis Sunda, yang memiliki prestasi di tingkat nasional, maupun internasional.[3]

   
Etimologi
Sunda berasal dari kata Su yang berarti segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan. Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter Kasundaan, sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (cerdas). Karakter ini telah dijalankan oleh masyarakat yang bermukim di Jawa bagian barat sejak zaman Kerajaan Salakanagara.
Nama Sunda mulai digunakan oleh raja Purnawarman pada tahun 397 untuk menyebut ibukota Kerajaan Tarumanagara yang didirikannya. Untuk mengembalikan pamor Tarumanagara yang semakin menurun, pada tahun 670, Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13, mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Kemudian peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan raja Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.


Peta linguistik Jawa Barat
Bahasa Sunda
Dalam percakapan sehari-hari, etnis Sunda banyak menggunakan bahasa Sunda. Namun kini telah banyak masyarakat Sunda terutama yang tinggal di perkotaan tidak lagi menggunakan bahasa tersebut dalam bertutur kata.[4] Seperti yang terjadi di pusat-pusat keramaian kota Bandung dan Bogor, dimana banyak masyarakat yang tidak lagi menggunakan bahasa Sunda.
Ada beberapa dialek dalam bahasa Sunda, antara lain dialek Sunda-Banten, dialek Sunda-Bogor, dialek Sunda-Priangan, dialek Sunda-Jawa, dan beberapa dialek lainnya yang telah bercampur baur dengan bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Karena pengaruh budaya Jawa pada masa kekuasaan Kerajaan Mataram Islam, bahasa Sunda - terutama dialek Sunda Priangan - mengenal beberapa tingkatan berbahasa, mulai dari bahasa halus, bahasa loma/lancaran, hingga bahasa kasar. Namun di wilayah-wilayah pedesaan dan mayoritas daerah Banten, bahasa Sunda loma tetap dominan.
 Seni tari
 Tari Jaipongan Tanah Sunda (Priangan) dikenal memiliki aneka budaya yang unik dan menarik, Jaipongan adalah salah satu seni budaya yang terkenal dari daerah ini. Jaipongan atau Tari Jaipong sebetulnya merupakan tarian yang sudah moderen karena merupakan modifikasi atau pengembangan dari tari tradisional khas Sunda yaitu Ketuk Tilu. Tari Jaipong ini dibawakan dengan iringan musik yang khas pula, yaitu Degung. Musik ini merupakan kumpulan beragam alat musik seperti Kendang, Go’ong, Saron, Kacapi, dsb. Degung bisa diibaratkan ‘Orkestra’ dalam musik Eropa/Amerika. Ciri khas dari Tari Jaipong ini adalah musiknya yang menghentak, dimana alat musik kendang terdengar paling menonjol selama mengiringi tarian. Tarian ini biasanya dibawakan oleh seorang, berpasangan atau berkelompok. Sebagai tarian yang menarik, Jaipong sering dipentaskan pada acara-acara hiburan, selamatan atau pesta pernikahan.

Wayang Golek
 Tanah Sunda terkenal dengan kesenian Wayang Golek-nya. Wayang Golek adalah pementasan sandiwara boneka yang terbuat dari kayu dan dimainkan oleh seorang sutradara merangkap pengisi suara yang disebut Dalang. Seorang Dalang memiliki keahlian dalam menirukan berbagai suara manusia. Seperti halnya Jaipong, pementasan Wayang Golek diiringi musik Degung lengkap dengan Sindennya. Wayang Golek biasanya dipentaskan pada acara hiburan, pesta pernikahan atau acara lainnya. Waktu pementasannya pun unik, yaitu pada malam hari (biasanya semalam suntuk) dimulai sekitar pukul 20.00 – 21.00 hingga pukul 04.00 pagi. Cerita yang dibawakan berkisar pada pergulatan antara kebaikan dan kejahatan (tokoh baik melawan tokoh jahat). Ceritanya banyak diilhami oleh budaya Hindu dari India, seperti Ramayana atau Perang Baratayudha. Tokoh-tokoh dalam cerita mengambil nama-nama dari tanah India.Dalam Wayang Golek, ada ‘tokoh’ yang sangat dinantikan pementasannya yaitu kelompok yang dinamakan Purnakawan, seperti Dawala dan Cepot. Tokoh-tokoh ini digemari karena mereka merupakan tokoh yang selalu memerankan peran lucu (seperti pelawak) dan sering memancing gelak tawa penonton. Seorang Dalang yang pintar akan memainkan tokoh tersebut dengan variasi yang sangat menarik.
Seni musik
Selain seni tari, tanah Sunda juga terkenal dengan seni suaranya. Dalam memainkan Degung biasanya ada seorang penyanyi yang membawakan lagu-lagu Sunda dengan nada dan alunan yang khas. Penyanyi ini biasanya seorang wanita yang dinamakan Sinden. Tidak sembarangan orang dapat menyanyikan lagu yang dibawakan Sinden karena nada dan ritme-nya cukup sulit untuk ditiru dan dipelajari.Dibawah ini salah salah satu musik/lagu daerah Sunda :
Bubuy Bulan Es Lilin Manuk Dadali Tokecang Warung Pojok
 1. Calung Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).
2. Angklung Angklung adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari bambu khusus yang ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun 1938. Ketika awal penggunaannya angklung masih sebatas kepentingan kesenian local atau tradisional.

Rumah Adat

Secara tradisional rumah orang Sunda berbentuk panggung dengan ketinggian 0,5 m - 0,8 m atau 1 meter di atas permukaan tanah. Pada rumah-rumah yang sudah tua usianya, tinggi kolong ada yang mencapai 1,8 meter. Kolong ini sendiri umumnya digunakan untuk tempat mengikat binatang-
binatang peliharaan seperti sapi, kuda, atau untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti cangkul, bajak, garu dan sebagainya. Untuk naik ke rumah Rumah tradisional
disediakan tangga yang disebut Golodog yang terbuat dari kayu atau bambu, yang biasanya terdiri tidak lebih dari tiga anak tangga. Golodog berfungsi juga untuk membersihkan kaki sebelum naik ke dalam rumah.
Rumah adat Sunda sebenarnya memiliki nama yang berbeda-beda bergantung pada bentuk atap dan pintu rumahnya. Secara tradisional ada atap yang bernama suhunan Jolopong, Tagong Anjing, Badak Heuay, Perahu Kemureb, Jubleg Nangkub, Capit Gunting, dan Buka Pongpok. Dari kesemuanya itu, Jolopong adalah bentuk yang paling sederhana dan banyak dijumpai di daerah-daerah cagar budaya atau di desa-desa.
Jolopong memiliki dua bidang atap yang dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan rumah. Batang suhunan sama panjangnya dan sejajar dengan kedua sisi bawah bidang atap yang sebelah menyebelah, sedangkan lainnya lebih pendek dibanding dengan suhunan dan memotong tegak lurus di kedua ujung suhunan itu.
Interior yang dimiliki Jolopong pun sangat efisien. Ruang Jolopong terdiri atas ruang depan yang disebut emper atau tepas; ruangan tengah disebut tengah imah atau patengahan; ruangan samping disebut pangkeng (kamar); dan ruangan belakang yang terdiri atas dapur yang disebut pawon dan tempat menyimpan beras yang disebut padaringan. Ruangan yang disebut emper berfungsi untuk menerima tamu. Dulu, ruangan ini dibiarkan kosong tanpa perkakas atau perabot rumah tangga seperti meja, kursi, ataupun bale-bale tempat duduk. Jika tamu datang barulah yang empunya rumah menggelarkan tikar untuk duduk tamu. Seiring waktu, kini sudah disediakan meja dan kursi bahkan peralatan lainnya. Ruang balandongan berfungsi untuk menambah kesejukan bagi penghuni rumah. Untuk ruang tidur, digunakan Pangkeng. Ruangan sejenis pangkeng ialah jobong atau gudang yang digunakan untuk menyimpan barang atau alat-alat rumah tangga. Ruangan tengah digunakan sebagai tempat berkumpulnya keluarga dan sering digunakan untuk melaksanakan upacara atau selamatan dan ruang belakang (dapur) digunakan untuk memasak.
Ditilik dari segi filosofis, rumah tradisional milik masyarakat Jawa Barat ini memiliki pemahaman yang sangat mengagumkan. Secara umum, nama suhunan rumah adat orang Sunda ditujukan untuk menghormati alam sekelilingnya. Hampir di setiap bangunan rumah adat Sunda sangat jarang ditemukan paku besi maupun alat bangunan modern lainnya. Untuk penguat antar tiang digunakan paseuk (dari bambu) atau tali dari ijuk ataupun sabut kelapa, sedangkan bagian atap sebagai penutup rumah menggunakan ijuk, daun kelapa, atau daun rumia, karena rumah adat Sunda sangat jarang menggunakan genting. Hal menarik lainnya adalah mengenai material yang digunakan oleh rumah itu sendiri. Pemakaian material bilik yang tipis dan lantai panggung dari papan kayu atau palupuh tentu tidak mungkin dipakai untuk tempat perlindungan di komunitas dengan peradaban barbar. Rumah untuk komunitas orang Sunda bukan sebagai benteng perlindungan dari musuh manusia, tapi semata dari alam berupa hujan, angin, terik matahari dan binatang.
Sistem Kekerabatan
Sistem keluarga dalam suku Sunda bersifat bilateral, garis keturunan ditarik dari pihak bapak dan ibu. Dalam keluarga Sunda, bapak yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan suku Sunda.Dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan. Dicontohkannya, pertama, saudara yang berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu anak, incu (cucu), buyut (piut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya. Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah, silsilah) yang maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa Indonesia. Makna sajarah adalah susun galur/garis keturunan.
 Masakan Khas
Beberapa jenis makanan jajanan tradisional Indonesia yang berasal dari tanah sunda, seperti sayur asem, sayur lodeh, pepes, lalaban, dll.
contoh masakan tradisional,Pepes Mi ala Sunda Mi sebagai pengganti nasi sangat populer di Indonesia ...

Profesi
Mayoritas masyarakat Sunda berprofesi sebagai petani, dan berladang, ini disebabkan tanah Sunda yang subur.[5] Sampai abad ke-19, banyak dari masyarakat Sunda yang berladang secara berpindah-pindah.
Selain bertani, masyarakat Sunda seringkali memilih untuk menjadi pengusaha dan pedagang sebagai mata pencariannya, meskipun kebanyakan berupa wirausaha kecil-kecilan yang sederhana, seperti menjadi penjaja makanan keliling, membuka warung atau rumah makan, membuka toko barang kelontong dan kebutuhan sehari-hari, atau membuka usaha cukur rambut, di daerah perkotaan ada pula yang membuka usaha percetakan, distro, cafe, rental mobil dan jual beli kendaraan bekas. Profesi pedagang keliling banyak pula dilakoni oleh masyarakat Sunda, terutama asal Tasikmalaya dan Garut. Profesi lainnya yang banyak dilakoni oleh orang Sunda adalah sebagai pegawai negeri, penyanyi, seniman, dokter, diplomat dan pengusaha.


Kepercayaan Suku Orang Sunda
1. Sunda Wiwitan

Sunda Wiwitan (Bahasa Sunda : “Sunda permulaan”, “Sunda sejati”, atau “Sunda asli”) adalah agama atau kepercayaan asli masyarakat Sunda yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda. Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes,  Lebak,  banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul,  Cisolok, Sukabumi;  Kampung Naga; dan Cigugur, Kuningan. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu.
Berdasarkan keterangan kokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut Hindu atau Buddha, melainkan penganut ajaran leluhur, yaitu kepercayaan asli nenek moyang. Hanya dalam perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu, dan hingga batas tertentu, ajaran Islam Dalam Carita Parahyangan kepercayaan ini disebut sebagai ajaran “Jatisunda“.Mitologi dan sistem kepercayaan
Kekuasaan tertinggi berada pada Sang  Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa),Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala.
Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun mengenai mitologi orang Kanekes:
Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas
Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah
Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah
Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam  Kahyangan atau Mandala Hyang. Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.
Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes. Keturunan lainnya merupakan batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah Sunda. Pengertian nurunkeun (menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.

Filosofi

Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran tersebut. Ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa.
Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya:
Welas asih: cinta kasih
Undak usuk: tatanan dalam kekeluargaan
Tata krama: tatanan perilaku
Budi bahasa dan budaya
Wiwaha yudha naradha: sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya
Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya.
Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa. Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antar manusia tersebut didasarkan pada Cara Ciri Bangsa yang terdiri dari:
Rupa
Adat
Bahasa
Aksara
Budaya
Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab Sunda Wiwitan, yang bernama Siksa Kanda-ng karesian. Namun secara mendasar, manusia sebenarnya justru menjalani hidupnya dari apa yang tersirat. Apa yang tersurat akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan. Hal tersebut tidak memberi jaminan bahwa manusia akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat itu. Justru, apa yang tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan.
Awalnya, Sunda Wiwitan tidak mengajarkan banyak tabu kepada para pemeluknya. Tabu utama yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada dua.
Yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lain
Yang bisa membahayakan diri sendiri
Akan tetapi karena perkembangannya, untuk menghormati tempat suci dan keramat (Kabuyutan, yang disebut Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas) serta menaati serangkaian aturan mengenai tradisi bercocok tanam dan panen, maka ajaran Sunda Wiwitan mengenal banyak larangan dan tabu. Tabu (dalam bahasa orang Kanekes disebut “Buyut”) paling banyak diamalkan oleh mereka yang tinggal di kawasan inti atau paling suci, mereka dikenal sebagai orang Baduy Dalam.

Tradisi
Dalam ajaran Sunda Wiwitan terdapat tradisi nyanyian pantun dan kidung serta gerak tarian. Tradisi ini dapat dilihat dari upacara syukuran panen padi dan perayaan pergantian tahun yang berdasarkan pada penanggalan Sunda yang dikenal dengan nama Perayaan Seren Taun. Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren Taun selalu berlangsung meriah dan dihadiri oleh ribuan orang. Perayaan Seren Taun dapat ditemukan di beberapa desa seperti di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; dan  Cigugur, Kuningan. Di Cigugur, Kuningan sendiri, satu daerah yang masih memegang teguh budaya Sunda, mereka yang ikut merayakan Seren Taun ini datang dari berbagai penjuru negeri.
Meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang memeluk agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah diajarkan oleh agama ini masih tetap dijadikan penuntun di dalam kehidupan orang-orang Sunda. Secara budaya, orang Sunda belum meninggalkan agama Sunda ini.

2. Agama Djawa Sunda
Agama Djawa Sunda (sering disingkat menjadi ADS) adalah nama yang diberikan oleh pihak antropolog Belanda terhadap kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar di daerah Kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Agama ini juga dikenal sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur. Abdul Rozak, seorang peneliti kepercayaan Sunda, menyebutkan bahwa agama ini adalah bagian dari agama Buhun, yaitu kepercayaan tradisional masyarakat Sunda yang tidak hanya terbatas pada masyarakat Cigugur di Kabupaten Kuningan, tetapi juga masyarakat Baduy di  Kabupaten Lebak, para pemeluk “Agama Kuring” di daerah Kecamatan  Ciparay, Kabupaten Bandung, dll.
Jumlah pemeluknya di daerah Cigugur sekitar 3.000 orang. Bila para pemeluk di daerah-daerah lain ikut dihitung, maka jumlah pemeluk agama Buhun ini, menurut Abdul Rozak, mencapai 100.000 orang, sehingga agama Buhun termasuk salah satu kelompok yang terbesar di kalangan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Agama Djawa Sunda atau agama Sunda Wiwitan ini dikembangkan oleh Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. Oleh pemerintah Belanda, Madrais belakangan ditangkap dan dibuang ke  Ternate, dan baru kembali sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan ajarannya.
Madrais — yang biasa juga dipanggil Kiai Madrais — adalah keturunan dari  Kesultanan Gebang, sebuah kesultanan di wilayah Cirebon Timur. Ketika pemerintah  Hindia Belanda menyerang kesultanan ini, Madrais diungsikan ke daerah Cigugur. Sang pangeran yang juga dikenal sebagai Pangeran Sadewa Alibasa, dibesarkan dalam tradisi  Islam dan tumbuh sebagai seorang spiritualis. Ia mendirikan  pesantren sebagai pusat pengajaran agama Islam, namun kemudian mengembangkan pemahaman yang digalinya dari tradisi pra-Islam masyarakat Sunda yang agraris. Ia mengajarkan pentingnya menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri, yaitu Jawa-Sunda.